Ada seorang bapak tua pekerja
keras, pekerja buruh bangunan disebuah kota “.......” (Sensor). Ia rela
berpanas-panasan di area bangunan yang panas terik nan gerah plus baunya (dikira-kira
sendiri baunya gimana). Ia rela mengangkat batu yang besa-besar untuk
memasang pondasi agar kuat untuk menopang bangunan tersebut. Ia rela mondar
mandir berjalan kesini kemari dengan tubuh dekilnya. Kemudian di lain hal ada
pula seorang tukang becak yang sudah tua membecak penumpangnya puluhan tahun
dengan kaki dekilnya, dengan panas-panasan, bila hujan juga kehujanan. Semua
itu hanyalah sebuah usaha kecil untuk mencari sesuap nasi untuk menegakkan
punggung saja. Untuk sekolah anak-anak itu nomor sekian. Yang paling utama
ialah menyuapi perut agar bisa bekerja mengadsorbsi gizi dari makanan yang halalan
thoyyiban. Yang menjadi pertanyaan bagi saya dan mungkin bagi kita semua.
Mengapa mereka mau melakukannya?? Apakah tidak ada usaha lain?? Tentu ada
alasan tersendiri dan pasti ada cara lainnya. Sebagai pengalaman, saya sendiri
pernah melakukan pekerjaan ini, sebagai buruh bangunan. Itu pun karena hal-hal
insidental yang saya harus penuhi. Kehidupan yang keras, panas dan memeng
melas. Tapi tidakkah kita perhatikan mereka sejenak. Merka telah melakukan
pekerjaan tersebut bertahun-tahun bahkan ada yang seumur hidup mereka. Merka
ikhlas menjalaninya, kalaupun tidak bisa ikhlas, mereka harus mengikhlaskannya
pula, karena itulah kenyataan. Itu saya jumpai di sekitar saya. Dan itu sudah
menjadi realita yang begitu nyata di masyarakat kita.
Lalu
apa hubungannya dengan judul diatas?. Banyak hubungannya, tapi saya hanya akan
mengambil beberapa saja. Sudah kita ketahui bahwa setiap yang kita lakukan
apakah itu berat ataukah ringan itu tergantung kita yang menyikapinya. Ibarat
sebuah wadah, jika wadah kita hanya segelas air maka jika di masukin garam satu
plastik tentu sangat terasa asin jadinya. Namun tidakkah kita perhatikan
lautan?? Yah, lautan sebagai wadahnya, jika kita memasukkan garam satu plastik
tentu tak akan jadi masalah. Itu hanyalah sebuah analogi kecil. Seorang kiyai,
ulama, ustadz atau apapun sebutannya tentu berat. Bahkan lebih berat beratnya
dengan hal-hal yang lain karena menyangkut tanggung jawab dunia akhirat. Lalu apakah
dengan begitu akan menyurutkan mental bahkan menyiutkan nyali untuk menegakkan
dan mencetak generasi ulama mendatang?. Tentu jangan sampai hal itu terjadi.
Apapun itu jika hal tersebut kita lalukan dengan hati yang seluas samudra tentu
berbeda masa dan rasa. Apalagi menjadi ulama, ustadz ataupun kiyai adalah
sebuah tugas yang mulia, Tidak banyak yang mau melakukannya. Hanya sedikit
orang yang mau. Yang perlu dilakukan
hanya mengikhlaskan diri kita untuk
menjalaninya, Sebuah pekerjaan akan menjadi lebih ringan jika hati kita ikhlas
menjalaninya. Sebuah tugas akan menjadi mudah dan ringan bila hatinya seluas
samudra. Oleh karena itu keep spirit wahai para ulama, keep hamasah wahai para
ustadz, salam sejahtera wahai para hamba mahkota dan selamat berjuang wahai para
putra samudra yang membara.
:: Untuk Teman-teman aktivis dakwah, selamat
berjuang kami sampaikan...
Ziyadul Muttaqin
09.33
22-06-13
Mantabs
BalasHapus