.

News Ticker

Untukmu, Wahai Para Ulama, Ustadz...

By Unknown - Jumat, 28 Juni 2013 1 Comment
Ada seorang bapak tua pekerja keras, pekerja buruh bangunan disebuah kota “.......” (Sensor). Ia rela berpanas-panasan di area bangunan yang panas terik nan gerah plus baunya (dikira-kira sendiri baunya gimana). Ia rela mengangkat batu yang besa-besar untuk memasang pondasi agar kuat untuk menopang bangunan tersebut. Ia rela mondar mandir berjalan kesini kemari dengan tubuh dekilnya. Kemudian di lain hal ada pula seorang tukang becak yang sudah tua membecak penumpangnya puluhan tahun dengan kaki dekilnya, dengan panas-panasan, bila hujan juga kehujanan. Semua itu hanyalah sebuah usaha kecil untuk mencari sesuap nasi untuk menegakkan punggung saja. Untuk sekolah anak-anak itu nomor sekian. Yang paling utama ialah menyuapi perut agar bisa bekerja mengadsorbsi gizi dari makanan yang halalan thoyyiban. Yang menjadi pertanyaan bagi saya dan mungkin bagi kita semua. Mengapa mereka mau melakukannya?? Apakah tidak ada usaha lain?? Tentu ada alasan tersendiri dan pasti ada cara lainnya. Sebagai pengalaman, saya sendiri pernah melakukan pekerjaan ini, sebagai buruh bangunan. Itu pun karena hal-hal insidental yang saya harus penuhi. Kehidupan yang keras, panas dan memeng melas. Tapi tidakkah kita perhatikan mereka sejenak. Merka telah melakukan pekerjaan tersebut bertahun-tahun bahkan ada yang seumur hidup mereka. Merka ikhlas menjalaninya, kalaupun tidak bisa ikhlas, mereka harus mengikhlaskannya pula, karena itulah kenyataan. Itu saya jumpai di sekitar saya. Dan itu sudah menjadi realita yang begitu nyata di masyarakat kita.
                Lalu apa hubungannya dengan judul diatas?. Banyak hubungannya, tapi saya hanya akan mengambil beberapa saja. Sudah kita ketahui bahwa setiap yang kita lakukan apakah itu berat ataukah ringan itu tergantung kita yang menyikapinya. Ibarat sebuah wadah, jika wadah kita hanya segelas air maka jika di masukin garam satu plastik tentu sangat terasa asin jadinya. Namun tidakkah kita perhatikan lautan?? Yah, lautan sebagai wadahnya, jika kita memasukkan garam satu plastik tentu tak akan jadi masalah. Itu hanyalah sebuah analogi kecil. Seorang kiyai, ulama, ustadz atau apapun sebutannya tentu berat. Bahkan lebih berat beratnya dengan hal-hal yang lain karena menyangkut tanggung jawab dunia akhirat. Lalu apakah dengan begitu akan menyurutkan mental bahkan menyiutkan nyali untuk menegakkan dan mencetak generasi ulama mendatang?. Tentu jangan sampai hal itu terjadi. Apapun itu jika hal tersebut kita lalukan dengan hati yang seluas samudra tentu berbeda masa dan rasa. Apalagi menjadi ulama, ustadz ataupun kiyai adalah sebuah tugas yang mulia, Tidak banyak yang mau melakukannya. Hanya sedikit orang yang mau.  Yang perlu dilakukan hanya mengikhlaskan diri kita  untuk menjalaninya, Sebuah pekerjaan akan menjadi lebih ringan jika hati kita ikhlas menjalaninya. Sebuah tugas akan menjadi mudah dan ringan bila hatinya seluas samudra. Oleh karena itu keep spirit wahai para ulama, keep hamasah wahai para ustadz, salam sejahtera wahai para hamba mahkota dan selamat berjuang wahai para putra samudra yang membara.
:: Untuk Teman-teman aktivis dakwah, selamat berjuang kami sampaikan...
                                                                                                                                                             Ziyadul Muttaqin
                                                                                                                                                                                09.33

                                                                                                                                                                         22-06-13

1 komentar to ''Untukmu, Wahai Para Ulama, Ustadz..."

ADD COMMENT

­