![]() |
al-Muwafaqat |
Muwafaqot adalah nama asli dari karya Imam Syatibi ini,
tetapi beberapa ulama dan muhakikin menambahkannya dengan “ Muwafaqot fi Ushul
Syareah’ seperti yang ditulis Syekh Daraz, juga “ Muwaqot fi Ushul Ahkam”
sebagaimana ditulis oleh Muhyidin Abdul Hamid.
Tentang Isi Buku Muwafaqat
Adapun buku
muwafaqot sendiri terdiri dari 5 bagian yang dibagi menjadi 4 buku dan
dijadikan 2 jilid.
1.Pembukaan
Pembukaan ini
terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal berisikan tentang pembahasan dasar-dasar
ilmu ushul fiqh, sebagai pengantar menuju substansi yang sebenarnya.
Diantaranya :
- Bahwa masalah-masalah
di dalam ushul fiqih semuanya berdasarkan dalil-dalil qoth’i, tidak
dhonni, karena berdasarkan masalah- masalah kuliyat, yang tak terbantahkan
( yaitu : Dhoruriyat, Hajiyat dan Tahsinat ). Sebagaimana Ijma’ merupakan
dalil qhot’I, walaupun ijma’ itu sendiri pada hakekatnya kumpulan dari
perorangan yang mungkin kalau berdiri sendiri akan lemah dan tidak bisa
dijadikan sandaran syar’i.
- Dalil-dalil aqli di
dalam masalah ushul tidak digunakan kecuali digabungkan dengan dalil
naqli.
- Setiap dasar syareah
yang belum ada nash akan tetapi sesuai dengan ruh syareah, maka dasar
tersebut itu boleh dipakai.
- Semua permasalahan
yang diletakkan didalam ushul fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar
untuk menjabarkan fikih, maka peletakkannya adalah hanya membuang energi
dan tidak banyak manfaatnya. ( seperti masalah mubah apakah taklif atau
tidak dan masalah siapa yang meletakkan bahasa pertama kali ).
- Sebagaimana
diterangkan juga bahwa menyibukkan diri di dalam banyak teori ilmu secara
umum tanpa ada kaitannya dengan amal perbuatan, itupun tidak banyak
manfaatnya dan bertentangan dengan maksud diturunkannya syareat itu
sendiri.
- Dan lain-lainnya .
II.Kitab Ahkam ,
Kitab ini
terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.
III.Kitab Maqhosid
Di dalam kitab
ini dijelaskan secara terperinci bahwa Syare’ah Islamiyah ini diturunkan kepada
manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Karena berisikan kaidah-kaidah
umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia
wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan
aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran di dalam agama Islam memberatkan dan
mengikat kebebasan manusia. Tapi sebenarnya yang konsisten dengan ajarannya
justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya baik
yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri,
walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan
–aturan didalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau
kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan
madhorot.
Orang yang
paling mengetahui maslahat dan mafasid pada suatu kasus adalah para ulama yang
telah menguasai ilmu syareah dan mengetahui betul hikmah dibalik hukum-hukum
yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Islam. Diantaranya :
- Bahwa untuk menjaga
syareat ini secara keseluruhan, maka unsur-unsur di dalamnya harus dijaga
walau sekecil apapun. Karena kuliyat dan juziat di dalam ajaran Islam
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
- Begitu juga bahwa
Syareat Islamiyah ini diturunkan dalam bahasa Arab .
- Sengaja di pilih
bahasa Arab , karena hanya bahasa Arab saja yang mempunyai “ma’na tab’I “
( makna tersirat ) yang paling mendetail di dalam susunan kata- katanya.
Dan itu tidak dimiliki bahasa- bahasa lainnya. Oleh karenanya, tidak
dibolehkan, bahkan tidak akan bisa menerjemahkan Alquran secara letterligh
ke dalam bahasa lain. Yang bisa (dan dibolehkan hanyalah menafsirkan
kandungan Al quran secara global.
- Alquran – walaupun
berbahasa Arab- akan tetapi diturunkan kepada umat umiyyin ( yang tidak
pandai membaca dan menulis ), oleh karenanya hendaknya cara memahami Al
Quran harus di sesuaikan dengan pemahaman mereka. Maksudnya tidak
bertele-tele di dalam membahas sebuah lafadh, tapi cukup mengetahui maksud
dari kalimat tersebut. Dan inilah rahasia kenapa Al Quran diturunkan
dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, Umar bin Khottob ketika ditanya
tentang arti “ abba “ dalam ayat ( wafaakihata wa abba) beliau menjawab :
kita tidak diperintahkan untuk bertele-tele seperti itu. Bahkan beliau
menghukum seorang yang bernama Dhobii’ , karena selalu menanyakan makna (
walmursalaati ) dan ( wal ashifat ) .
- Begitu juga di dalam
memahami masalah aqidah, termasuk di dalamnya ayat-ayat sifat dan
mutasyabihat, cukup dipahaminya secara umum tanpa tenggelam di dalam
masalah-masalah yang pelik.
- Dalam furu’ yang
berhubungan dengan ibadah amaliyah, Alquran meletakkan kaidah-kaidah yang
bisa dipahami orang awam, seperti tanda untuk mengetahui datangnya
waktu-waktu sholat, puasa dengan tenggelamnya matahari atau terbitnya
bulan.
- Syareat Islam yang
diturunkan kepada umat manusia ini mudah dilaksanakan oleh siapapun juga,
karena tidak membebani seseorang kecuali menurut kadar kemampuannya.
- Ajaran- ajarannya
sangat indah, tidak ada yang perlu ditakutkan. Toh kalau ada beberapa
hukuman yang dirasakan secara sekilas oleh sebagian orang sifatnya kejam
dan tidak berperikemanusian, seperti hukum potong tangan dan hukum rajam,
sebetulnya itu didasari rasa kasihan dan pandangan yang lebih jauh, yaitu
maslahat yang lebih besar yang akan di dapatinya jika hukuman-hukuman
tersebut dilaksanakan. Sebagaimana seorang dokter yang memotong sebagian
anggota tubuh pasien untuk menyelamatkan hidupnya.
- Begitu juga Islam
mengajak manusia untuk masuk ke dalam komunitasnya, mengikuti
ajaran-ajarannya, meninggalkan hawa nafsunya agar tercapai kemaslahatan
dunia dan akhirat.
10.
Karena kemaslahatan dunia ini tidak akan mungkin bisa ditegakkan kecuali dengan
mengekang hawa nafsu, sebagaimana yang sudah disepakati oleh orang-orang yang
berakal.
11. Oleh
karenanya, mengikuti bisikan hawa nafsu merupakan sumber kerusakan dunia dan
akhirat, dan apabila masuk ke dalam amalan ibadah, maka akan membawa mafsadah
yang besar, sebagiamana orang yang menjadikannya sebagai sarana dan batu
loncatan untuk mencapai hawa nafsunya.
IV.Kitab Tentang Dalil .
Kitab ini
dibagi menjadi dua bagian :
A/ Tentang
kaidah-kaidah umum dalam menggunakan dalil.
- Di dalam menentukan
sebuah hukum, hendaknya tidak hanya menggunakan dalil secara parsial, akan
tetapi harus memperhatikan dulu kuliyatul syari’ah – sebagaimana yang
sudah disebutkan diatas – kalau tidak, maka akan terjadi kesalahan dan
berakibat fatal dalam penerapannya.
- Sebaliknya juga, kita
tidak bisa hanya mengandalkan kuliyat syari’ah tanpa melihat dalilnya
secara mendetail, karena kadang otak manusia terlalu pendek untuk bisa
mengetahui semua maslahat secara mendetail.
- Setiap dalil syar’i
yang masih mutlak, maka penafsirannya diserahkan kepada mukallaf, atau
yang dikenal dengan istilah ( ma’qulatul ma’na ), tentunya harus
dikembalikan kepada maksud tujuan syareat itu sendiri. Sedang yang
muqoyyad, yaitu masalah (ta’abbudi ), maka penafsirannya diserahkan kepada
syareat dan tidak boleh diakal-akali, walaupun sebenarnya seorang mukallaf
boleh mencari hikmah dan tujuan dari ibadat tersebut .
- Amalan sahabat dalam
suatu ibadah juga boleh menjadi pertimbangan di dalam mengambil dalil
syar’i .
- Harus dibedakan
antara hukum asli dalam suatu masalah dengan hukum yang ditetapkan karena
pertimbangan lain.
B/ Pembahasan
tentang dalil secara lebih terperinci.
1/ Yang
berhubungan dengan Al Qur’an
- Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih,
Menurut Imam
Syatibi, Al-Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan tidak perlu
dita’wilkan lagi, seperti : khos, muqoyyad, mubayyan, muawaal. Al- Muhkamat ini
merupakan mayoritas isi Al-Qura’n. Sedang Al-Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
masih umum, global dan belum jelas, seperti : dhohir, aam, mujmal,mutlak , dan
ini sangat sedikit sekali dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, untuk memahami
Al-Mutasyabihat ini harus merujuk kepada ayat-ayat yang Muhkamat.
- Al Makiyah dan Al Madaniyah
Pengetahuan
terhadap ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah dalam Al- Quran – begitu juga dalam
hadits – sangat urgen sekali di dalam mengistimbatkan suatu hukum, karena
Makiyah bersifat kuliyah, sedang Madaniyah bersifat juziyah yang dimungkinkan
terjadinya naskh dan mansukh. Dalam arti lain bahwa hukum-hukum yang diturunkan
di Madinah, walaupun kadang bersifat kuliyat dan umum, tapi sebenarnya hanya
merupakan bagian ( cabang ) dari kuliyat dan keumuman hukum-hukum yang
diturunkan di Makkah.
2/ Yang
berhubungan dengan As-Sunnah
As Sunnah
merupakan keterangan rinci yang ada pada Al Qur’an, maka tidak boleh seseorang
memakai dalil dari Al Qur’an saja, tanpa memperhatikan keterangan As- Sunnah,
sebagaimana yang sering dilakukan para ahli bid’ah. Berkata Umar bin khottob : “
Akan datang suatu kaum yang akan mendebat kamu dengan syubhat Al-Qur’an, maka
jawablah mereka dengan Al-Hadits “
Masalah-masalah
yang masih global dalam Al Quran akan dijelaskan oleh Al Hadits dengan cara
yang beragam, diantaranya adalah :
- Dengan menerangkan
ayat-ayat yang dimungkinan akan terjadi salah paham dalam memahaminya
seperti : hukum seputar anjing pemburu, nikah tanpa wali, dan
lain-lainnya.
- Dengan cara
menganalogikan hal-hal yang belum disebut di dalam Al Qur’an, dengan apa
yang telah disebutkan seperti : hukum menikahi seorang perempuan dengan
bibinya dalam satu waktu, hkum menggunakan air laut, hukum haramnya kota
Madinah, dan lain-lainnya.
- Dengan menjelaskan
hal-hal yang masih global dalam Al Qur’an seperti : menjelaskan arti iddah
dalam perceraian, menjelasakan urutan Shofa dan Marwa dalam ibadah haji,
menjelasakan maksud benang hitam dan putih dalam penentuan waktu puasa,
menjelsakan maksud dari Sholat Al Wustho
V.Kitab Ijtihad
Ijtihad ada dua
macam :
1.Ijtihad yang
tidak akan mungkin putus sampai hari kiamat.
Bentuk ijtihad
ini berkisar kepada “ tahqiq al manat “ yaitu mencari menentukan illat atau
sifat yang telah disepakati pada suatu obyek, seperti kriteria adil, faqir,
miskin, besar kecilnya nafakah yang wajib diberikan suami kepada istrinya). Ini
semua tergantung pada perorangan dan kondisi masing . Di sini ijtihad mutlak
diperlukan bagi siapa saja yang ingin menentukan hukum pada masalah tersebut.
2.Ijtihad yang
mungkin terhenti dan tertutup. Ini ada tiga macam :
- “ Tanqih al Manat “
yaitu, penyaringan suatu alasan hukum dengan cara meniadakan perbedaan
satu dengan yang lainnya, seperti : meniadakan perbedaan antara budak
laki-laki dan perempuan .
- “ Takhrij al Manat “,
yaitu menentukan alasan dari sebuah hukum, seperti menentukan alasan
diharamkannya khomr, menentukan alasan larangan membentak orang tua, dan
lain-lainnya.
- “Tahqiq al Manat “,
yaitu menerapkan alasan tersebut pada masalah-masalah yang belum disebut
hukumnya dalam Al Qur’an atau Al Hadist .
Yang berhak
berijtihad adalah orang yang menguasai dua hal, salah satunya adalah “ maqhosid
syareah “ adapun yang kedua : adalah kemampuan berijtihad dengan
syarat-syaratnyanya. Oleh karena itu kita dapatkan orang yang tidak memiliki
dua keahlian ini pendapat-pendapatnya sangat jauh dari kebenaran dan lebih
cenderung semrawut dan kontradiksi.
Kadang
kesalahan pendapat setelah berijtihad, disebabkan kaburnya beberapa masalah
dari mujtahid dan kadang juga karena mujtahid belum membaca masalah tersebut secara
umum. Oleh karena itu kesalahan seorang mujtahid/ alim , tidak boleh dijadikan
sandaran dan tidak boleh diikuti.
Di dalam
bukunya Muwafaqot, Imam syatibi telah membuka lebar- lebar peluang bagi ulama-
ulama syareah untuk terus menggali rahasia-rahasia Syareat Islam ini secara
lebih luas dan luwes. Imam Syatibi telah memberikan jalan kepada mereka untuk
selalu memanfaatkan kuliyat dan juziyat di dalam menetapkan hukum- hukum
syare’at. Barangkali cukup apa yang dikatakan Syekh Muhammad Fadhil ibnu Asyura
: “ Sesungguhnya Imam Syatibi di dalam bukunya Muwafaqot, telah mampu membangun
proyek raksasa di dalam Tsaqofah Islamiyah, darinya kita mampu melihat cara-
cara untuk menjaga agama ini, yang belum disadari oleh sebagian besar
orang-orang sebelum Imam Syatibi. Sehingga ulama-ulama yang konsen di dalam
penggalian rahasia-rahasia syrare’at setelahnya bisa dikatagorikan sebagai
pengikutnya, Mulai nampak kelebihan –bukunya pada saat ini – dan juga pada masa
sebelumnya-dengan keadaan yang menakjubkan, ketika dunia Islam pada masa
kebangkitannya -dihadapkan pada problematika penyelarasan antara hukum syareat
dengan perkembangan zaman, maka buku muwafaqot hadir untuk memberikan
jawabannya ..”
Benar saja,
buku muwafaqot ini telah menarik perhatian banyak orang, semenjak zaman dahulu
maupun sekarang, walupun kwalitas dan keberadaan buku tersebut baru –baru
terbukti dan teruji pada akhir- akhir ini. Diantara penulis lama yang
memperhatikan buku ini adalah salah satu muridnya , Abu Bakar bin Ashim yang
telah meringkasnya di dalam buku yang berjudul “ Al Muna fi ikhtishori
muwafaqot”, ada juga muridnya yang menjadikannya nadhum dan prosa, seperti “
nail Muna minnal muwafaqot “ dan “ muwafiq al muwafaqoot “ kemudian dijelaskan
di dalam buku “ al murofiq ala muwafiq . Ulama-ulama kontemporerpun bermunculan
dalam menanggapi maqoshid yang dilontarkan Imam syatibi, diantaranya , “
Maqqoshid Syareah wa Makarimaha, karya Alla Al Fasy, “ Maqhosid Syareah
Islamiyah “ karya At Thohir ibnu Asyur , “ Masalik lil kassyfi an Maqoshid Syareah
baina As Syatibi dan Ibnu Asyur”, karya Dr. Abdul Majid Najjar, “Nadhoriyatul
Al Maqhosid inda Imam Syatibi”, karya Ahmad Ar Raesuuni , “Al Maqhosid ammah li
Syareah Islamiyah”, karya Dr. Yusuf Al Alam ( Desertasi ), “ Maqhosid
Mukallafin fima yatabad bihi lirobbi alamain”, karya Umar Sulaiman Asqor,
“Dhowabith Maslahah fi Syareah Islamiyah”, karya Muh. Said Romadlon Buthi, “
Istishlah wa Masholih Mursalah fi Syareah Islamiyah wa Ushul Fiqhiha”, karya
Musthofa Ahmad Zarqo, “ Taysri’ Islami, Ushulu wa Maqhosiduhu”, karya Umar
Jaidi, “Nadhoritau maslahah fil Fiqh Islamy”, karya Husain Hamid, dan
lain-lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini.
Tidaklah
berlebihan kalau kita katakan bahwa sebaik-sebaik yang telah Imam Syatibi
persembahkan kepada kita lewat bukunya muwafaqoot adalah metodologi pemahaman
Al Quran dan Sunnah yang menyeluruh dan konperehensif.
Paling tidak
buku muwafaqot ini bisa kita jadikan “ al qoidah “ untuk merubah cara berpikir
kita yang sering menyibukkan diri dengan masalah prasial kepada cara berpikir
secara kuliyyat ( menyeluruh ) , dari perhatian kita yang begitu besar terhadap
hal-hal yang sifatnya formalitas menuju perhatian kita kepada inti dan
substansi , merubah kadaan kita yang telah terlalu lama tenggelam di dalam
mengejar sarana menuju keadaan yang lebih baik, yaitu selalu mengedepankan
tujuan., merubah kebiasaan dalam mempertahankan status quo dan taqlid menuju
generasi yang selalu kreatif dan penuh inisiatif. Sebagaimana yang pernah
dikatakan seorang Ibnu Mas’ud kepada para sahabatnya : ( Bahwa engkau kini
berada pada zaman yang banyak fuqoha’nya sedikit qurro’nya, dijaga di dalamnya
hukum-hukum al Quran, walau kadang terlepas haurufnya, sedikit yang minta-minta
, banyak yang memberi, yang memanjangkan sholat dan memendekkan khutbah, yang
mendahulukan amalnya sebelum hawa nafsunya, Dan akan datang nanti sebuah
generasi yang sedikit fuqoha’nya , banyak sekali quroo’nya, diperhatikan bacaan
qurannya tapi di langgar hukum- hulmnya., banyak yang minta-minta sedikit yang
memberi, banyak bicara, pendek sholatnya, mendahulukan hawa nafsunya atas
amalannya )
Demikian
sekilas isi dari buku muwafaqot, yang tidak mungkin diterangkan semuanya di
dalam makalah yang singkat ini. Bagi siapa saja yang ingin mengetahuinya secara
lebih jelas tentunya harus merujuk kepada kitabnya langsung. Sebenarnya
pembahasan dan masalah-masalah dalam kitab muwafaqot, di samping tinggi
bahasanya, juga lebih cenderung ditujukan kepada para ulama dan orang-orang
yang telah terbiasa bergelut dalam bidang syareat. Oleh karenanya, dianjurkan
bagi para pemula untuk membaca terlebih dahulu buku-buku yang mendukung ke arah
situ, sebagaimana telah disebutkan sebagiannya di atas. Atas kekurangan dalam
tulisan ini, diharapkan semuanya untuk bisa mengembangkannya kepada yang lebih
baik. Wallahu A’lam.
No Comment to " Bedah Kitab al-Muwafaqot al-Syatibi "