SYARIAT IBADAH HAJI
Oleh
Syaikh Khalil Harras
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ
رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat
keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia
dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]
Kaum Muslimin keluar dari bulan
Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam
kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung
kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan
hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan
hal-hal yang dibenci. Karenanya,
mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan
jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang
terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari
rukun-rukun Islam.
Haji itu seperti puasa, hukumnya
wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para
hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam,
agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan
haji kepada manusia agar mendatanginya.
يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ
مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,
dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki
yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…”
[al-Hajj/22:27-28]
Allah Azza wa Jalla telah
memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm
Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap
ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah
dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta
melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa. Hanya saja anak keturunan mereka
telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa
nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan mereka.
Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu
menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah
untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya,
dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;
اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ
لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ
“Wahai Allah, tidak ada
sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang
dia punya”
Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah
dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan
pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum
wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya
dengan sehelai kain, lalu mengatakan:
“Pada hari ini tampaklah
sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak
membolehkan (dijamah) ”
Tatkala Allah Azza wa Jalla
mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pembaharu agama Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, sudah sewajarnya jika pembaharuan
itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya
dari al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.”
[al-Baqarah/2:196]
Hingga firman Allah:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]
Juga firman-Nya yang lain :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ
وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman.
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]
Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka
hajilah kalian!” [HR. Muslim]
Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhu :
(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ
عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج
اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)
“Islam dibangun di atas
lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa
di bulan Ramadhan, serta haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan
perjalan kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]
Sungguh, Nabi telah menafsirkan
makna as-sabîl dengan bekal dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi
diri dan keluarganya hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang
menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya
segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah
itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.
Haji termasuk ibadah yang
mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap
dunia, kembali kepada fitrah aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan
kepayahan-kepayahan, mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla
dengan menahan diri dari setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm
tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh
mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk
diri dan orang lain.
Pelaksanaan ibadah haji adalah
bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan
kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji
mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku
penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu.
Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada
sekutu bagi-Mu”.
Makna لَبَّيْكَ
: Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa
lama-lama dan lambat. Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum
Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai
belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi
mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan
dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di
antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada
perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali
persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu
dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …”
[al-Hajj/22:28]
Dalam hadits di atas (HR
al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa
barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni;
mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar
karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan
mengharapkan pahala dari sisi-Nya, patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan
kewajiban menjauhi perkara yang tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm
berupa rafats, yakni jima` dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait
dengannya; juga tidak berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah
Azza wa Jalla, yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari
ibadah haji dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut
hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan
yang selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta
kepada mereka agar menghalalkannya.
Tidak heran jika ibadah haji dengan
kedudukan seperti ini bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya
rihlah (pergi) menuju Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan,
terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya,
lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang
kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya,
meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan
kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni
Allah Azza wa Jalla.
Maka apa persangkaanmu terhadap
Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya,
mencurahkan ke hadapan-Nya keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya
di sisi-Nya, juga terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian
dia bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya
dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat
dari Allah Azza wa Jalla, serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat
dan keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara
dengan kesengsaraan seluruhnya.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
paling pengasih daripada Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa
setelah Dia mengetahui kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas
dalam taubatnya dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ
الْجَنَّةُ
Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan
surga [HR. Muslim]
Kami memohon kepada Allah Azza wa
Jalla agar mengkaruniai kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam
menjalankan kewajiban tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan
kemurahan-Nya.
(Referensi : Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar Th.1424
volume ke-41, tahun ke-6)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No Comment to " Fikih Haji - SYARIAT IBADAH HAJI "